Romeo dan Juliet di Elysee

Romeo dan Juliet di Elysee
Romeo dan Juliet di Elysee

Jakarta - Minggu, 14 Mei 2017, Emmanuel Macron dilantik sebagai Presiden Prancis menggantikan Francois Hollande. Macron menjadi Presiden terpilih termuda sejak Napoleon Bonaparte.


Pidato pelantikannya di Istana Elysee tidak banyak disimak oleh 300 tamu undangan. Sorotan lebih tertuju kepada istrinya yang berusia lebih tua hampir tiga dasawarsa, Brigitte Macron.

Atensi media dan publik terhadap pasangan figur politik dunia ibarat scrutiny atau "santapan" tersendiri. Serupa dengan Melania, first lady AS yang tidak hentinya dibicarakan skeptis ketika Donald Trump berhasil memenangkan kontes kepresidenan negeri Paman Sam.

Publik juga masih terus membicarakan Michelle Obama yang dinilai memiliki pesona sehebat suaminya, Barack Obama.

Bahkan jauh sebelum Macron, Prancis juga sempat memiliki first lady yang kerap mengisi headline tabloid murahan maupun serius. Siapa lagi kalau bukan istri Nikolas Zarkozy dan mantan model papan atas, Carla Bruni.

Berbeda dengan Melania, Carla dan Michelle yang dibicarakan karena kecantikan maupun kepandaian mereka, Brigitte "diulas" habis dari sudut yang tabu didiskusikan dalam kultur Barat, yakni usianya. Umur Brigette (64) yang terpaut jauh dengan Macron (39) menjadi bulan-bulanan dan ledekan media.

Tabloid mingguan satiris, Charlie Hebdo memasang kartun Brigitte yang dalam keadaan hamil di halaman sampul depannya dengan judul "He's Going to Work Miracles". Gambar itu menyindir Macron yang sampai saat ini kebetulan belum sempat dikarunia anak selama perkawinannya dengan Brigitte.

Lebih ngaco lagi, Harian The Financial Times Inggris menjuluki Brigitte sebagai "Essex girl". Dalam kamus urban, julukan itu biasanya diberikan kepada wanita muda asal Kota Essex di Inggris yang dianggap bodoh dan terobsesi dengan seks.

Di Prancis disebut "cagole", panggilan slang untuk wanita blonde yang berbusana vulgar atau overdressed. Bahasa kita mungkin menyebutnya "berpakaian menyolok".

Bukan tanpa pembelaan. Brigitte memperoleh dukungan dari Pemred Majalah Elle Prancis, Adele Breau. Adele mengomentari sinimisme terhadap pasangan first family itu sebagai cerminan sikap "ultra-misogynistic".

Berprasangka negatif dan fobia terhadap Brigitte, publik dinilai telah bersikap prejudice dan tidak fair dengan menganggap pria yang mengawini wanita lebih tua pasti memiliki kelainan seks. Kalau bukan gay, pasti korban paedofil.

Dalam kultur politik kontemporer Prancis, wanita memang selalu menjadi sentral perdebatan sinister. Selalu ada kelemahan untuk dilekatkan pada kesadaran feminisme politik negeri mode tersebut.

Boleh jadi, ini juga berlaku bagi Marine Le Pen, saingan Macron dalam pemilihan Presiden Prancis baru lalu yang dituding sangat ultra nasionalis. Penolakan publik Prancis terhadap Le Pen memperkuat diktum penguasaan political ostracism (penolakan berkelompok berdasarkan popular vote).

Ruang yang diberikan kepada figur wanita dalam kultur kontes politik di negara itu masih terlalu sempit. Terlepas dari pandangan atau visi politik Le Pen yang memang divisive dan distruptive – setali tiga uang dengan Donald Trump dan Frauke Petry atau Jorg Meuthen di Jerman maupun Gabor Vona di Hongaria, dominasi maskulin di pentas politik kekuasaan di Prancis terus bertahan dengan slogan vini, vidi, vici.

Mungkin Anda masih ingat ketika Segelone Royal, politisi wanita Prancis yang mengumunkan pencalonannya pada 2007 dalam primary Partai Sosialis untuk kepentingan pemilihan Presiden Prancis. Kawan separtainya, Laurent Fabius –mantan Perdana Menteri di bawah kepemimpinan Presiden Francois Mitterand secara ironis meledek Segelone, "but who will take care of the kids" (lalu siapa yang ngurus anak-anak Anda?).

Padahal lawan Segenole adalah Francois Hollande, politisi pendahulu Macron yang juga dikenal punya kelemahan dalam masalah domestik keluarga. Kendati Segelone memenangi primary, dirinya gagal menaklukkan Nikolas Zarkozy.

Menganggap Brigette sebagai liability Macron dalam perjalanan politiknya ke depan masih harus dicermati. Mampukah mantan guru drama Macron di high school itu bertahan dari berbagai cibiran? Disoroti dengan alasan "ketuaan" mendampingi Presiden Macron yang masih sangat muda, pasti akan sangat menyakitkan.

Serangan sexist hostility pernah dihadapi Edith Cresson, satu-satunya mantan Perdana Menteri wanita Prancis (1991-1992). Edith hanya mampu bertahan 11 bulan sebagai Perdana Menteri dan sejak hari pertama telah menerima penolakan yang sangat bias gender. Kalangan konservatif mengibaratkan Edith dengan ungkapan "she is the Pompadour entering Matignon".

www.pokerjingga.org
Bagi yang baru mempelajari sejarah Prancis, Pompadour adalah famous mistress dan confidante Raja Louis XIV. Sedangkan Matignon adalah tempat kediaman resmi sang Perdana Menteri.

Macron cukup paham kenyataan pahit itu. Makanya, sejak awal sudah wanti-wanti, "no taboo at Elysee!" Bagi Macron, Brigette adalah figur wanita yang berhasil "memoles" dirinya kurang dari setahun, sejak jadi Menteri Muda hingga terpilih sebagai Presiden termuda Prancis. Mirip Michelle Obama, Brigette tekun membantu Macron menyusun pidato suaminya, termasuk agenda-agenda politiknya.

Persoalannya, apakah itu akan cukup mudah dipahami publik Prancis yang kini terbelah? Kita akan melihatnya dalam 100 hari ke depan. Yang pasti, seminggu pertama ini, kita akan disuguhi betapa Macron dan Brigette telah menjadi manifesto Romeo dan Juliet versi anyar politik adiluhung di Eropa.

Pesona kecantikan Carla Bruni akan diganti rasa cinta abadi seorang Brigette kepada Presiden Macron. Ibarat Romeo dan Juliet yang mati sekubur berdua, atau tumbuh hingga hari tua. Dalam adagium kita, di balik keberhasilan seorang pria, berdiri wanita yang kuat!