Ada apa dengan Anak-anak Kita?
Jakarta - Pada tahun ajaran baru ini, kita dikejutkan oleh aksi bullying, bahkan penganiayaan di Thamrin City. Yang lebih mengejutkan, aksi ini dilakukan oleh anak SD dan SMP, anak-anak yang mestinya masih polos. Ini bukan peristiwa pertama. Kita barangkali masih ingat kisah Renggo Khadafy—siswa kelas V SD 09 Makasar, Jakarta—yang tewas "di tangan" abang-abang seniornya. Masih segar juga di ingatan kita tentang perundungan di Bukit Tinggi pada mata pelajaran agama. Ini juga dilakukan oleh anak SD, bahkan di ruangan kelas dan menjadi tontonan bersama dengan siswa-siswa lainnya.
Segepok kisah di atas hanya contoh. Masih banyak contoh lain yang bisa disodorkan. Pertanyaannya: ada apa dengan anak-anak? Padahal, kita dulunya berpikir bahwa anak adalah sosok yang polos, akrab, dan lekat. Anak adalah sosok yang menerima anak yang lain, bahkan tanpa memandang SARA. Banyak sastrawan kita membuat literatur tentang kritiknya terhadap orangtua. "Kami main bersama. Mengejar kupu-kupu, mencari biji-biji kenari. Kami satu kelas saat belajar menghitung dan membaca. Tetapi, kenapa ketika mata pelajaran agama, kelas kami berbeda?" tanya Azizah kepada ibunya, seperti tampak pada cerpen "Kalung" gubahan Agus Noor.
Ini menjadi peneguhan bahwa anak itu adalah sosok lembut. Karena itu, kita selalu fokus pada perlindungan agar anak tidak menjadi korban kekerasan. Namun, faktanya saat ini, anak bukan lagi hanya menjadi korban. Anak juga sudah menjadi pelaku aktif dari kekerasan itu sendiri. Anak menjadi buas dan rakus. Anak tak lagi menjadi sosok yang humanis, lemah lembut, dan menerima tanpa pandang bulu. Anak menjadi predator ulung. Anak menjadi sosok pembenci, bahkan radikal. Buktinya, selain kekerasan, paham sektarian juga sudah berkembang di kalangan anak-anak.
Ada Apa dengan Sekolah?
Penelitian Wahid Institute (2016) perihal indikator dan kerukunan sosial keagamaan di komunitas muda, misalnya, menyebutkan bahwa 37 persen anak muda (termasuk siswa) yang mendukung praktik radikalisme, 15 persen setuju pelarangan ibadah minoritas atau yang dianggap sesat, 12,5 persen setuju ideologi Pancasila ditukar, bahkan 7,9 persen setuju dengan tindakan kekerasan atas nama agama. Baru-baru ini, survei dari SMRC juga meneguhkan hal yang sama. Karena itu, Mensos Khofifah meminta Uji Kompetensi Guru diperketat agar paham radikalisme dan kebencian bisa dicegah.
Khofifah agaknya menyadari bahwa anak menjadi buas, ganas, dan radikal karena faktor lingkungan sekolah. Keganasan itu mengambil banyak bentuk: kekerasan terhadap guru, juga terhadap siswa lainnya. Benarkah sekolah yang membuat anak menjadi radikal dan ganas? Secara hitung-hitungan matematis, memang lebih banyak waktu dihabiskan anak di sekolah. Hanya sedikit alokasi waktu-sadar anak di rumah. Sebab, biasanya waktu di rumah dihabiskan untuk menyendiri, seperti tidur, menonton televisi, makan, dan sebagainya. Jadi, tengara bahwa anak menjadi ganas adalah karena sekolah bisa diterima.
Masalahnya, ada apa dengan sekolah sehingga anak-anak kita menjadi ganas dan buas? Paling tidak, ada empat hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, tiadanya teladan. Ini kemudian terafirmasikan dalam studi Endang Turmudi (2016), peneliti senior dari LIPI. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa 76,2 persen guru sepakat menukar Pancasila. Jadi, tak mengherankan jika siswa kemudian dirasuki sindrom kebencian, bahkan sampai menyentuh angka 84,8 persen. Sebab, bukankah kita sudah sama-sama mengimani bahwa jika guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari?
Kedua, ganasnya sistem pendidikan. Tak bisa dimungkiri, sistem pendidikan kita memang terkesan kompetisi ketimbang kolaborasi. Kita lebih banyak bersaing ketimbang berjabat tangan. Ketua Litbang PB PGRI yang juga Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengakui hal itu. Abduhzen mengatakan bahwa masalah kekerasan dalam pendidikan kita justru berakar pada pada misi pendidikan itu sendiri, yaitu mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Paul Krugnan, peraih Nobel 2008 bidang Ekonomi mengatakan bahwa daya saing merupakan gagasan yang berbahaya. Dikatakan berbahaya karena bisa menimbulkan egosentrisme, juga barbarisme.
Ketiga, tiadanya waktu untuk kebersamaan, apalagi gotong royong. Ini terjadi karena persaingan. Semua siswa lebih banyak menyendiri. Kalaupun berkumpul, umumnya mereka bersekongkol, seperti membentuk geng. Tiadanya kebersamaan ini membuat pandangan pada orang lain menadak berubah. Muzafir Sherif, psikolog Amerika, pada tahun 1950-an telah menyebutkan hal itu, bahwa titik perpecahan justru berawal dari interaksi sesama kelompok.
Keempat, gagapnya pendidikan kita menghadapi hantaman internet. Anak-anak kita, sebagai penduduk pribumi dunia maya, seperti mengimani apa yang dikatakan John Diamond (1995), bahwa masalah dalam internet adalah semuanya benar. Di dunia maya, tak ada lagi kesucian pemuka agama, tak ada lagi kehebatan para ahli. Perkataan mahaguru dan anak SD dihargai sama. Tom Nichols menggelisahkannya dengan sangat vulgar melalui judul bukunya yang terbit tahun ini: The Death of Expertise. My ignorance is as good as your knowledge, tulisnya. Ketidaktahuanku sama dengan pengetahuanmu.
Empat Langkah
Lalu, bagaimana agar siswa tidak ganas? Pertama, hadirkan teladan. Tidak ada yang lebih cepat menular daripada teladan; perbuatan-baik diikuti perbuatan baik, sebagaimana perbuatan-buruk beranak pinak menjadi perbuatan buruk. Jika guru mencintai muridnya tanpa pandang bulu, masing-masing siswa juga akan melakukan hal yang sama. Demikian sebaliknya.
Kedua, hadirkan sekolah yang guyub. Sekolah harus menjadi ruang persaudaraan, bukan persaingan. Johnson dan Stane menyimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif lebih efektif dalam meningkatkan capaian akademik daripada pembelajaran individual atau pun kompetitif.
Ketiga, ciptakan kekeluargaan dan kebersamaan. Siswa jangan dipilah, apalagi dipisahkan. Membiasakan siswa dengan keberagaman akan melahirkan soft-skill untuk saling menghormati. Pettigrew dan Tropp (2006) telah mengemukakan hal itu dalam penelitian meta-analisisnya terhadap efek kontak dengan sesama. Bahwa setelah kontak, sikap terhadap kelompok menjadi lebih positif dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, jika individu yang berbeda sudah melihat diri mereka sebagai anggota dari entitas sosial, kontak positif akan meningkat dan bias antarkelompok akan berkurang (Baron & Byrne, 2000).
Keempat, sebisa mungkin, minimalkan hantaman internet ke ruang pendidikan. Tradisi mengkliping koran misalnya, perlu dihidupkan kembali; siswa harus menyentuh (nyata), bukan semata melihat (maya). Hal itu senada dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan terminologi ngerti, ngerasa, dan ngelakoni. Guru jangan lagi sebatas menyuruh agar siswa mencari sumber-sumber ke internet, tetapi juga mencarinya ke dunia nyata, lalu mendiskusikannya secara bersama-sama.