Mengenal MinION, Alat
Revolusioner Penyelamat dari Malaria di Sulut.
Resistensi malaria terhadap
sejumlah obat, menjadi momok di beberapa daerah endemis penyakit itu di
Sulawesi Utara. Seorang profesor asal Jepang pun datang membawa sebuah
teknologi baru, yang diharapkan bisa menuntaskan masalah ini.
Tangisan bayi Windu terdengar
nyaring di sebuah ruangan pemeriksaan Puskesmas Tombatu, Sulawesi Utara. Dari
ujung telunjuknya, tampak darah menggumpal akibat tusukan jarum. Seorang dokter
segera mengambil cairan tubuh berwarna merah itu.
Windu di sana bersama Ibu, dan
ayahnya, Fian, yang khawatir putri semata wayangnya itu terjangkit malaria.
"Awalnya dia (Windu) cuma main-main.
Tapi setelah itu dia panas batuk, lalu nangis-nangis, dan malamnya tidak tidur.
Ya sudah saya bawa ke sini," cerita Fian.
Fian (kanan) dan istri sedang
memeriksakan anaknya di Puskesmas Tombatu. (BBC)
Kecamatan Tombatu, yang terletak
sekitar 90 km dari Manado, merupakan daerah endemis malaria. Pada 2015 lalu,
tercatat ada 25 kasus malaria terjadi setiap bulannya di sini.
Meskipun daerah endemis, ternyata
hanya ada satu puskesmas di daerah pusat perkebunan vanili itu. Puskesmas yang
didatangi Fian tersebut melayani warga dari 21 desa.
Tombatu yang dikelilingi
perkebunan vanili menjadi tempat favorit nyamuk Anopheles untuk berkembang
biak. (BBC)
Fian sendiri berasal dari Desa
Pisa, yang terletak sekitar 20 km dari Puskesmas Tombatu. "Jauh, tapi ya
mau bagaimana lagi. Anak harus diperiksa," katanya. Bersama istrinya dan
Windu, Fian mendatangi puskesmas dengan mengendarai sepeda motor.
Setelah sekitar setengah hari
menunggu, meskipun wajahnya tampak letih, senyum menyimpul di wajah Fian dan
istrinya, ketika tahu anaknya tidak menderita malaria, tetapi hanya demam
biasa.
Puskesmas Tombatu terus
direnovasi untuk bisa menangani pasien dari lebih 20 desa. (BBC)
Kepala Puskesmas Tombatu, John
Munaiseche, mengakui bahwa minimnya layanan kesehatan ini memperlambat
diagnosis malaria di kecamatan itu. "Kalau cek malaria dulu ada rapid
test. Sekarang tidak pernah muncul," tuturnya.
Kondisi itu semakin diperburuk
dengan semakin banyaknya kasus malaria yang resisten terhadap obat tertentu,
membuat upaya penyembuhan menjadi jauh lebih sulit.
Solusi dari Inggris, dibawa orang
Jepang
Keadaan ini diketahui oleh Suzuki
Yutaka, seorang profesor di Universitas Tokyo, Jepang. Dia pun, dengan dana
dari pemerintah Jepang, membawa terobosan baru alat sekuensing DNA, bernama
MinION, ke Sulawesi Utara.
Sekuen DNA adalah informasi
paling mendasar yang membentuk tubuh makhluk hidup. Selain dapat memberikan
informasi diagnosis penyakit, sekuens DNA juga bisa memberikan informasi terkait
apakah malaria yang diderita pasien, resistensi terhadap sebuah obat
anti-malaria.
"Strain malaria yang
resisten terhadap obat, semakin berkembang di seluruh dunia. Bahkan untuk obat
anti-malaria yang paling kuat, Artemisinin. Jadi, dokter harus tahu apakah
pasien resisten terhadap obat tertentu. Kalau tidak, pengobatan tidak akan
bermanfaat," ungkap Suzuki.
MinION yang hanya seukuran
telepon genggam dan portable dianggap sangat sesuai digunakan di Indonesia.
(BBC)
Suzuki menegaskan sekuensing DNA menggunakan
MinION, yang dibuat oleh peneliti dari Oxford, Inggris tersebut, "paling
tepat digunakan di Indonesia".
Pasalnya alat ini hanya seukuran
genggaman tangan dan bisa di bawa-bawa ke berbagai daerah. "Sementara alat
sekuensing jenis yang lama itu seukuran 'mesin cuci' dan tidak portable."
Profesor Suzuki di
laboratorium-nya di Universitas Sam Ratulangi, Manado. (BBC)
Memperoleh sekuen DNA dengan
MinION, juga lebih cepat. Jika alat sebelumnya, yang "hanya terfokus di
Pulau Jawa", memberikan hasil sekuens dalam lima hari. MinION bisa hanya
dalam lima jam: DNA dari tubuh pasien dimasukkan ke dalam MinION, kemudian
diolah lewat laptop.
"Karena pasien biasanya
tidak bisa menunggu. Terutama jika mereka terinfeksi patogen berbahaya,
penyakit menular," lanjut profesor di bidang genetika tersebut.
Selain itu, MinION disebut Suzuki
juga jauh lebih ekonomis. Satu unitnya dijual seharga $1.000 atau sekitar Rp13
juta. Sementara alat lama memiliki harga fantastis, $1 juta atau sekitar Rp13
miliar.
Uji coba oleh dokter setempat
Meskipun begitu, Suzuki mengakui
bahwa harga MinION masih "mahal bagi Indonesia". Menurutnya,
perusahaan pembuat MinION di Inggris "sedang mengupayakan agar alat untuk
melakukan sekuens itu bisa 10 kali lebih murah."
Bekerja sama dengan Universitas
Sam Ratulangi, Manado, Suzuki sudah membawa sekitar 50 MinION untuk diuji coba
di Sulawesi Utara.
Dr. Josef Tuda (kiri) adalah
salah seorang dokter yang telah dilatih untuk menggunakan MinION. (BBC)
Salah satunya oleh Josef Tuda,
seorang dokter parasitologi klinis di Rumah Sakit Budi Mulia, Bitung, yang
terletak sekitar 40 km dari Manado. Bitung juga merupakan daerah endemis
malaria.
Josef sedang menangani Anto,
seorang pasien malaria yang baru pulang dari Papua.
Anto yang sudah beberapa kali
menderita malaria, kembali terinfeksi plasmodium yang dibawa oleh nyamuk
Anopheles itu. "Saya sudah membeli obat (anti-malaria) merk Suldox, di
warung, tapi saya masih menggigil, dinginnya sampai ke tulang," keluhnya
kepada Dokter Josef.
Josef curiga, penyakit malaria
yang diderita Anto, sudah resisten terhadap obat merk Suldox.
Menurutnya pada kondisi seperti
yang dialami Anto inilah MinION menjadi sangat diperlukan. "Banyak obat
malaria yang bebas dijual di warung, misalnya di Papua, tempat pasien baru
datang. Bebas dijual dan penggunaan obat tanpa pengawasan dokter ini bisa
mempercepat resistensi pada obat."
Menurutnya MinION, dengan lebih
cepat dapat mengetahui mutasi malaria yang dialami pasien dan resistensinya
terhadap obat, "sehingga dokter bisa langsung mengganti rezimen pengobatan
malaria pasien, dengan obat lain."
Selain Josef, Suzuki juga sudah
melatih sejumlah dokter dan calon dokter lainnya di Sulawesi Utara, agar bisa
menggunakan MinION.
Setelah masa uji coba selesai,
MinION diharapkan bisa dibawa ke berbagai daerah terpencil endemis malaria di
propinsi itu, termasuk ke Tombatu.