Mengenal MinION, Alat Revolusioner Penyelamat dari Malaria di Sulut.

Mengenal MinION, Alat Revolusioner Penyelamat dari Malaria di Sulut.

http://harian44.blogspot.com/

Resistensi malaria terhadap sejumlah obat, menjadi momok di beberapa daerah endemis penyakit itu di Sulawesi Utara. Seorang profesor asal Jepang pun datang membawa sebuah teknologi baru, yang diharapkan bisa menuntaskan masalah ini.

Tangisan bayi Windu terdengar nyaring di sebuah ruangan pemeriksaan Puskesmas Tombatu, Sulawesi Utara. Dari ujung telunjuknya, tampak darah menggumpal akibat tusukan jarum. Seorang dokter segera mengambil cairan tubuh berwarna merah itu.

Windu di sana bersama Ibu, dan ayahnya, Fian, yang khawatir putri semata wayangnya itu terjangkit malaria.

"Awalnya dia (Windu) cuma main-main. Tapi setelah itu dia panas batuk, lalu nangis-nangis, dan malamnya tidak tidur. Ya sudah saya bawa ke sini," cerita Fian.

Fian (kanan) dan istri sedang memeriksakan anaknya di Puskesmas Tombatu. (BBC)

Kecamatan Tombatu, yang terletak sekitar 90 km dari Manado, merupakan daerah endemis malaria. Pada 2015 lalu, tercatat ada 25 kasus malaria terjadi setiap bulannya di sini.

Meskipun daerah endemis, ternyata hanya ada satu puskesmas di daerah pusat perkebunan vanili itu. Puskesmas yang didatangi Fian tersebut melayani warga dari 21 desa.

Tombatu yang dikelilingi perkebunan vanili menjadi tempat favorit nyamuk Anopheles untuk berkembang biak. (BBC)

Fian sendiri berasal dari Desa Pisa, yang terletak sekitar 20 km dari Puskesmas Tombatu. "Jauh, tapi ya mau bagaimana lagi. Anak harus diperiksa," katanya. Bersama istrinya dan Windu, Fian mendatangi puskesmas dengan mengendarai sepeda motor.

Setelah sekitar setengah hari menunggu, meskipun wajahnya tampak letih, senyum menyimpul di wajah Fian dan istrinya, ketika tahu anaknya tidak menderita malaria, tetapi hanya demam biasa.

Puskesmas Tombatu terus direnovasi untuk bisa menangani pasien dari lebih 20 desa. (BBC)

Kepala Puskesmas Tombatu, John Munaiseche, mengakui bahwa minimnya layanan kesehatan ini memperlambat diagnosis malaria di kecamatan itu. "Kalau cek malaria dulu ada rapid test. Sekarang tidak pernah muncul," tuturnya.

Kondisi itu semakin diperburuk dengan semakin banyaknya kasus malaria yang resisten terhadap obat tertentu, membuat upaya penyembuhan menjadi jauh lebih sulit.
Solusi dari Inggris, dibawa orang Jepang

Keadaan ini diketahui oleh Suzuki Yutaka, seorang profesor di Universitas Tokyo, Jepang. Dia pun, dengan dana dari pemerintah Jepang, membawa terobosan baru alat sekuensing DNA, bernama MinION, ke Sulawesi Utara.

Sekuen DNA adalah informasi paling mendasar yang membentuk tubuh makhluk hidup. Selain dapat memberikan informasi diagnosis penyakit, sekuens DNA juga bisa memberikan informasi terkait apakah malaria yang diderita pasien, resistensi terhadap sebuah obat anti-malaria.

"Strain malaria yang resisten terhadap obat, semakin berkembang di seluruh dunia. Bahkan untuk obat anti-malaria yang paling kuat, Artemisinin. Jadi, dokter harus tahu apakah pasien resisten terhadap obat tertentu. Kalau tidak, pengobatan tidak akan bermanfaat," ungkap Suzuki.

MinION yang hanya seukuran telepon genggam dan portable dianggap sangat sesuai digunakan di Indonesia. (BBC)

Suzuki menegaskan sekuensing DNA menggunakan MinION, yang dibuat oleh peneliti dari Oxford, Inggris tersebut, "paling tepat digunakan di Indonesia".

Pasalnya alat ini hanya seukuran genggaman tangan dan bisa di bawa-bawa ke berbagai daerah. "Sementara alat sekuensing jenis yang lama itu seukuran 'mesin cuci' dan tidak portable."

Profesor Suzuki di laboratorium-nya di Universitas Sam Ratulangi, Manado. (BBC)

Memperoleh sekuen DNA dengan MinION, juga lebih cepat. Jika alat sebelumnya, yang "hanya terfokus di Pulau Jawa", memberikan hasil sekuens dalam lima hari. MinION bisa hanya dalam lima jam: DNA dari tubuh pasien dimasukkan ke dalam MinION, kemudian diolah lewat laptop.

"Karena pasien biasanya tidak bisa menunggu. Terutama jika mereka terinfeksi patogen berbahaya, penyakit menular," lanjut profesor di bidang genetika tersebut.

Selain itu, MinION disebut Suzuki juga jauh lebih ekonomis. Satu unitnya dijual seharga $1.000 atau sekitar Rp13 juta. Sementara alat lama memiliki harga fantastis, $1 juta atau sekitar Rp13 miliar.
Uji coba oleh dokter setempat

Meskipun begitu, Suzuki mengakui bahwa harga MinION masih "mahal bagi Indonesia". Menurutnya, perusahaan pembuat MinION di Inggris "sedang mengupayakan agar alat untuk melakukan sekuens itu bisa 10 kali lebih murah."

Bekerja sama dengan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Suzuki sudah membawa sekitar 50 MinION untuk diuji coba di Sulawesi Utara.

Dr. Josef Tuda (kiri) adalah salah seorang dokter yang telah dilatih untuk menggunakan MinION. (BBC)

Salah satunya oleh Josef Tuda, seorang dokter parasitologi klinis di Rumah Sakit Budi Mulia, Bitung, yang terletak sekitar 40 km dari Manado. Bitung juga merupakan daerah endemis malaria.

Josef sedang menangani Anto, seorang pasien malaria yang baru pulang dari Papua.

Anto yang sudah beberapa kali menderita malaria, kembali terinfeksi plasmodium yang dibawa oleh nyamuk Anopheles itu. "Saya sudah membeli obat (anti-malaria) merk Suldox, di warung, tapi saya masih menggigil, dinginnya sampai ke tulang," keluhnya kepada Dokter Josef.

Josef curiga, penyakit malaria yang diderita Anto, sudah resisten terhadap obat merk Suldox.

www.pkjingga.com

Menurutnya pada kondisi seperti yang dialami Anto inilah MinION menjadi sangat diperlukan. "Banyak obat malaria yang bebas dijual di warung, misalnya di Papua, tempat pasien baru datang. Bebas dijual dan penggunaan obat tanpa pengawasan dokter ini bisa mempercepat resistensi pada obat."

Menurutnya MinION, dengan lebih cepat dapat mengetahui mutasi malaria yang dialami pasien dan resistensinya terhadap obat, "sehingga dokter bisa langsung mengganti rezimen pengobatan malaria pasien, dengan obat lain."

Selain Josef, Suzuki juga sudah melatih sejumlah dokter dan calon dokter lainnya di Sulawesi Utara, agar bisa menggunakan MinION.

Setelah masa uji coba selesai, MinION diharapkan bisa dibawa ke berbagai daerah terpencil endemis malaria di propinsi itu, termasuk ke Tombatu.