Alumni Australia
Ciptakan Pemantau Gas Beracun Gunung Berapi
Tim riset Politeknik Negeri
Madiun (PNM) berhasil menciptakan dan memasang alat pemantau gas beracun di
dekat kawah Gunung Kelud. Alat berbasis internet ini nantinya bisa membantu
dalam mitigasi bencana terkait gunung berapi.
Para peneliti terdiri atas Nur
Asyik Hidayatullah, alumni Victoria University di Melbourne; Dirvi Eko Juliando
dosen Teknik Komputer Kontrol, Ardi Catur Kurniawan, alumni Teknik Komputer
Kontrol PNM; Yohan Intan Kusuma, teknisi; dan Kholis Nur Faizin, dosen Mesin
Otomotif.
Alat ini mampu memonitor gas
beracun karbon monoksida (CO) atau karbondiokasida (CO2 ) di gunung berapi.
Aplikasi berbasis internet ini dinamakan Volcanic Gas Online Monitoring System
based on Internet of Things (VIOT). Dengan alat tersebut, aktivitas gas di
gunung berapi bisa dipantau apakah berbahaya bagi makhluk hidup atau tidak.
Gas CO dan CO2 itu tidak tampak
dan tidak berbau. Sehingga sangat susah di deteksi oleh pancaindera karena
menyatu dalam udara. Berbeda dengan gas sulfur yang masih ada baunya.
"Apabila Gas CO/CO2 tersebut
dihirup makhluk hidup maka bisa mengakibatkan kematian sebagaimana yang terjadi
pada tragedi sinila di gunung dieng wonosobo pada tahun 1979. Total 149 orang
tewas waktu itu. Kami tidak ingin peristiwa itu terulang lagi," kata Ketua
Tim VIOT PNM Nur Asyik Hidayatullah.
Bisa dimonitor setiap saat
Alat buatan tim riset tersebut
memakai jaringan wireless sensor network (WSN) atau jaringan sensor nirkabel
yang memanfaatkan energi surya. Tim riset PNM dibantu oleh tim Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Indonesia telah menguji dan memasang alat
monitoring tersebut di depan kawah Gunung Kelud, Kediri, bulan lalu.
"Pemantauan VIOT dilalukan
secara langsung dan realtime melalui website dan keseluruhan data diakuisisi
secara online dan disimpan ke dalam database," jelas Nur Asyik kepada
wartawan ABC Australia Farid M. Ibrahim, Rabu (21/3/2018).
Dia menjelaskan, VIOT menerapkan
sistem WSN sehingga data yang diperoleh melalui node yang tersebar akan
ditransmisikan ke gateway melalui jaringan radio untuk diupload ke server
website yang tersedia.
Meski membawa piranti seberat
lebih dari 10 kilogram di medan yang terjal, dengan kondisi hujan dan cuaca
berkabut dengan jarak pandang 10 sampai 15 meter, alat tersebut akhirnya
terpasang dan mampu mengirimkan data tingkat konsentrasi gas secara langsung
dan terus-menerus.
Sesuai hasil monitoring, untuk
Gunung Kelud Kediri saat ini masih dalam status aman, karena konsentrasi gas
beracun di kawah masih berada di bawah level 400 part per millions (ppm). Namun
jika level gas sudah di atas ambang batas tersebut maka akan sangat berbahaya
untuk makhluk hidup.
Nur Asyik Hidayatullah (kanan)
dan timnya berhasil memasang alat Volcanic Gas Online Monitoring System based
on Internet of Things (VIOT) di dekat kawah Gunung Kelud. (Foto: istimewa)
VIOT mampu menginformasikan data
secara real time dan mendeteksi keadaan lingkungan di sekitarnya. Yakni
aktivitas gas di gunung berapi khususnya keberadaan gas beracun CO/CO2.
Kemudian dikomunikasikan melalui internet melalui aplikasi yang bisa diakses
oleh masyarakat luas kapanpun dan dimanapun.
"Rencananya alat ini akan
kami kembangkan lebih lanjut tingkat keandalannya untuk menguji kadar gas
beracun di Gunung Dieng atau Merapi. Agar masyarakat dan wisatawan aman dalam
beraktivitas baik bertani maupun pendakian," imbuh Nur Asyik yang menyelesaikan
S-2 di Victoria Univeristy tahun 2009.
Selain sensor gas, dosen teknik
listrik ini menyebutkan VIOT juga bisa tambahkan sensor suhu, sensor seismik
dan beberapa sensor lainnya sesuai dengan kebutuhan PVMGB.
"Alat ini sangat bermanfaat
untuk sistem peringatan dini dan mitigasi dampak dari bencana gunung berapi,
khususnya mengetahui status gas beracun," katanya.
Masyarakat bisa mengakses situs
monitoring tersebut di https://viot.research.pnm.ac.id/ untuk mengetahui status
terkini kadar gas beracun di Gunung Kelud apakah levelnya dalam status aman
atau bahaya.
"Apabila statusnya aman maka
warna node 1 & node 2 akan berwarna hijau, namun sebaliknya, jika statusnya
bahaya maka warna node 1 & node 2 akan berubah menjadi merah," jelas
Nur Asyik.
Melalui node 1 dan node 2, VIOT
juga mampu menyajikan data log kadar gas CO baik harian, mingguan dan tahunan
dalam bentuk tabel dan grafik.
Riset ini didanai oleh Pemerintah
Australia melalui Alumni Grant Scheme (Skema Dana Hibah Alumni) yang
diadministrasikan oleh Australia Award in Indonesia (AAI).