Harian44 - Garam dan lada adalah duet bumbu andalan di seluruh dunia, terutama di meja makan restoran. Keberadaannya selalu berhasil menjadi penyelamat tatkala makanan yang disantap "kurang berkarakter" di lidah.
Namun, pernahkah Anda bertanya mengapa garam dan lada seakan tidak bisa dipisahkan di atas meja makan?
Garam santap, juga biasa disebut garam meja yang dimaksud adalah bumbu pilihan sejak berabad-abad lalu. Senyawa bernama ilmiah natrium klorida (NaCl) ini dibutuhkan oleh tubuh manusia sebanyak 3 hingga 8 gram, untuk melakukan berbagai fungsi metabolisme.
Selain itu, asin pada garam juga merupakan salah satu dari empat jenis cita rasa utama yang dideteksi oleh lidah manusia, di mana sekaligus berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan.
Karena kita membutuhkan garam untuk bertahan hidup, makan bumbu ini telah menjadi komoditas yang bernilai tinggi sepanjang sejarah.
Garam telah membantu membangun peradaban awal, mendorong munculnya kerajaan, dan bahkan telah digunakan sebagai mata uang. Sebagai contoh, tentara Romawi pernah diupah dengan garam.
Sebelum "berkolaborasi" dengan lada, pada awalnya garam kerap dipadukan bersama gula dalam banyak tradisi masyarakat Eropa, mulai dari era Romawi Kuno hingga zaman Renaisans.
Baru pada Abad ke-17, di Prancis, garam dan gula dipisahkan. Para juru masak kerajaan untuk Louis XIV mulai menyajikan hidangan asin sepanjang waktu bersantap, untuk merangsang nafsu makan.
Mereka hanya menyajikan makanan manis pada sesi akhir untuk memuaskan nafsu makan, atau dengan kata lain, menandakan akhir dari santapan tersebut.