harian44 - Firman Soebagyo, Ketua Pansus RUU
Pertembakauan, ingin meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan tentang
rencana penyederhanaan tarif dari biaya cukai tembakau. Pasalnya, simplifikasi dari
tarif biaya cukai juga dapat mengakhawatirkan para pelaku industri rokok dengan
skala menengah dan kecil.
" Jika hal tersebut diterapkan, maka itu juga akan
mematikan sebuah industri pertembakauan yang sudah lama berdiri atau yang sudah
masuk pada golongan III," ucap Firman di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Rencana dari Pemerintah adalah berkeinginan dengan tahapan
penggabungan kuota produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan juga Sigaret Putih
Mesin (SPM), lalu kemudian baru dilakukan penggabungan beberapa jenis rokok SKM
dan SPM.
" Rencana ini tentunya tak boleh terburu-buru
dilakukan, karena rokok kretek dan rokok putih itu berbeda sekali. Rencana ini juga
harus diperhitungkan dengan baik serta didiskusikan dengan semua stakeholders dengan
memperhatikan berbagai kajian akademis," ucapnya.
Rencana dengan penggabungan SKM golongan IIA dan IIB
tentu akan berimplikasi langsung bagi golongan IIB. Merujuk dengan data resmi
pada tahun 2016 terdapat 148 pabrik golongan IIB, sedangkan untuk golongan IIA
hanya 84 pabrik.
Politisi senior Golkar itu juga khawatir dampak dengan
adanya penggabungan struktur tarif SKM golongan IIA dan golongan IIB, yang akan
terjadi akuisisi oleh pelaku usaha di golongan IIA terhadap perusahaan yang bergolongan
IIB dengan produksinya sangat kecil, namun industri ini akan semakin terancam
dengan keberadaan asing mengingat modal mereka yang kuat.
" Dampak negatif yang akan di dapatkan dan juga paling
tidak diharapkan adalah para pelaku yang memiliki usaha di golongan IIB akan beralih
ke produksi rokok ilegal yang tentu semakin merugikan pemerintah saja," ucapnya.
Menurut Firman, ada beberapa pertimbangan yang harus
menjadi perhatian bagi pemerintah dalam melakukan simplifikasi biaya cukai, IHT
di Indonesia sangat beragam dari aspek di mulai dari modal, jenis, hingga
cakupan pasar.
" Melakukan sebuah perlindungan terhadap industri
hasil tembakau dalam skala kecil dan juga menengah. Jangan sampai menciptakan
persaingan terhadap usaha yang tidak sehat melalui praktek oligopoli bahkan memonopoli,"
tegasnya.
Pemerintah juga harus memperhatikan keberlangsungan
lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja dan juga pelaku yang sudah terlibat
langsung maupun tidak langsung terhadap IHT.
" Dan, untuk pemerintah harus ada itikad yang baik dalam
melestarikan ciri khas hasil tembakau Indonesia yakni seperti rokok kretek, "
ucapnya.
Harapan Pengusaha
Rokok
Sulami Bahar, Ketua dari Gabungan Pengusaha Rokok
(Gapero) Surabaya ini berkeinginan untuk mengingatkan pemerintah dalam menghilangkan
simplifikasi biaya cukai hasil tembakau yang tertuang dalam PMK 156 Tahun 2018
lalu.
Menurutnya, penghapusan kebijakan simplifikasi biaya cukai
ini merupakan hasil tembakau berdampak positif bagi IHT, karena dalam penghapusan
kebijakan ini membuat persaingan antar IHT tetap sehat. Selain itu, juga dapat mendongkrak
omzet bagi industri yang berimbas pada tenaga kerja.
“ Simplifikasi kalau kita jalankan akan menguntungkan
pihak tertentu dan juga merugikan banyak pihak. Ini berarti golongan IHT kecil juga
menengah yang akan terkena dampaknya, karena harga untuk rokok golongan kecil
menengah akan head to head dengan rokok dari industri besar,” tegasnya.
Pabrik Rokok
Diuntungkan dengan Tarif Cukai Murah
Pemerintah juga diharapkan untuk tidak ragu dalam menerapkan
kebijakan penggabungan batasan produksi dari Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan juga
Sigaret Putih Mesin (SPM) dan menjadi tiga miliar batang. Meskipun kebijakan
tersebut malah mendapatkan penolakan dari pabrikan rokok.
Pengamat Ekonomi Abdillah Ahsan juga mengatakan bahwa,
penggabungan itu perlu direalisasikan karena ada pabrikan rokok yang selama ini
telah menikmati tarif cukai dengan murah.
“ Para pengusaha rokok ada yang protes adalah mereka yang
sudah diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka yang sudah membayar biaya cukai
lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang malah menyakiti dan tidak terlalu
banyak menyerap tenaga kerja, ” ucapnya di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Menurut Abdillah, jika ada pabrikan rokok yang menolak
penggabungan batasan produksi SKM dan SPM itu karena khawatir tidak akan bisa
lagi membayar tarif biaya cukai dengan murah. Dengan adanya penggabungan
tersebut, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas
tiga miliar dan juga batang harus membayar tarif biaya cukai dengan golongan I
pada kedua segmen tersebut.
“ Tentu saja bagi yang menolak, sudah menikmati
keuntungan dari sistem saat ini yang tidak rasional dijalankan tersebut.
Kebijakan yang tidak efisien ini juga telah mendorong rokok ilegal karena
jumlah dari layer tarif biaya cukai juga banyak sehingga peluang rokok ilegal
tipe salah personifikasi sudah meningkat,” katanya.
Jika proses penggabungan dengan batasan produksi SKM dan
SPM tidak segera direalisasikan, Abdillah akan khawatir dengan angka perkokok yang
ada di Indonesia akan terus meningkat lantaran semakin murah nya dan juga
mudahnya rokok dijangkau oleh masyarakat.
" Semangat dalam penggabungan SKM dan SPM untuk mengurangi adanya perbedaan pada harga
rokok sehingga membuat para konsumen tidak bisa beralih ke rokok yang murah,
pada saat harga rokok itu naik. SKM dan juga SPM akan sama-sama buruk untuk
kesehatan, sepatutnya digabungkan ,” lantasnya.